Home Work Ethics Islam and Salvation Theology of Work Interview Are we a Christian Ghetto? Lifestyle after College Uang dan Materialsm Success Etika Bernegara Building Chritian Family Roles in Family The Church Church Structure Christian Leisure Dating

 

 

LEISURE IN THE EYES OF THE BEHOLDER
A Christian View on Leisure
Fenny Wibowo & Yohannes Somawiharja

D-R-A-F-T



PENGANTAR

Kelihatannya tidak ada yang tidak setuju bahwa kerja itu merupakan sesuatu yang baik dan perlu. Manusia adalah ciptaan Allah, yang adalah pribadi pekerja. Sehingga dengan demikian, sebagai gambarNya, kita mewarisi sifat sebagai pekerja. Dengan pekerjaan, kita bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik kita (makanan, tempat tinggal, dll) melainkan juga memenuhi kebutuhan mental dan spiritual (kepuasan batin terhadap hasil karya).

Tetapi bagaimana dengan leisure, yang sering kita sebut dengan waktu luang? berbagai pendapat bisa kita dapatkan: ada yang berpendapat bahwa leisure merupakan kemalasan dan pemborosan, dan kalaupun leisure itu diperlukan, gunanya adalah untuk sekedar memulihkan kesegaran untuk melanjutkan kerja. Kebanyakan orang yang workoholic menganut pandangan seperti ini.

Dipihak lain, dalam konteks seperti di Amerika ini banyak tersedia berbagai amusement center, dari yang sederhana sampai yang wah seperti di Disneyland atau Las Vegas. Ada orang-orang yang menjajakan beribu atau bahkan berjuta dollar untuk berlibur atau membeli barang-barang yang kita tahu bukan hanya dibutuhkan fungsi dasarnya saja melainkan juga untuk dinikmati dimensi-dimensi lainnya. Apakah kalau begitu jenis atau pelaksanaan leisure seperti ini merupakan pemborosan dan kekurang-sensitivan terhadap penderitaan orang lain?

Atau mari kita lihat sendiri bagaimana kita memanfaatkan waktu luang kita disela-sela waktu perkuliahan yang padat dengan nonton TV dan pelbagai video games lainnya. Benarkah bermain video games itu “membuang waktu sia-sia”? perlukah kita mencari leisure yang "edukatif"? apakah memancing itu "tidak produktif"? dan apakah mengambil bagian dalam suatu pemainan itu "kekanak-kanakan"?

Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap leisure? leisure apa saja yang tepat buat kita? Leland Ryken mengakui bahwa kekristenan sangat kurang membahas topik yang penting ini (kapan anda terakhir dengar khotbah soal leisure?) Tetapi sebagaimana juga tidak ada tuntunan yang kaku untuk melaksanakan kerja, Tuhan juga tidak menggariskan satu ketentuan yang kaku buat pelaksanaan leisure. Ini bagus, sebab pelaksanaan waktu senggang itu biasanya sangat erat hubungannya dengan pekerjaan kita, yang juga merefleksikan keunikan kita.

Jadi tulisan ini tidak berpretensi untuk memberi model umum yang bisa diterapkan buat semua orang -karena itu tidak mungkin-, melainkan ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama memikirkan dengan serius pemakaian waktu senggang yang bagi seorang Kristen adalah merupakan bagian dari mandat budaya dari Allah dan sangat penting peranannya dalam hidup kita.

ARTI KATA LEISURE

Diskusi selalu dimulai dengan mendefinisikan istilah-istilah yang dipakai. Mendifinisikan apa itu leisure, lebih sulit dari mendefinisikan kerja, seperti diakui oleh Leland Ryken. Pada dasarnya, leisure adalah "non-work". Ada unsur "freedom" yang dominan disini.

Paul Stevens mengatakan bahwa secara umum, leisure dimaksudkan sebagai "dibebaskan dari", umumnya dibebaskan dari tuntutan harus bekerja, walaupun demikian ia berpendapat, pengartian “dibebaskan untuk” lebih lengkap.  G.K. Chesterton mengatakan bahwa kebebasan disini beragam, yaitu:  freedom to do something, freedom to do anything, and freedom to do nothing.  [Stevens, 576]

Akar kata leisure adalah kata Perancis kuno leisir yang berasal Latin licere,  yang berarti " to be allowed or to be lawful."  Kata itu merupakan akar kata yang sama untuk membentuk kata license.  Dalam pengertian ini leisure berarti kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita mau secara relatif tanpa rasa keterpaksaan [24]

Akar kata leisure yang lain adalah kata Yunani skole atau kata Latin schola,  dari mana kata school (sekolah) berasal. Konteks pemakaian kata ini asalnya adalah dimana seseorang dibebaskan dari keharusan bekerja (yang dilakukan oleh budak), sehingga memiliki waktu luang yang bisa digunakan untuk hal-hal yang disukai/disenangi, untuk membangun diri pribadi.

Dalam bahasa Indonesia, leisure sering disebut waktu senggang atau waktu luang. Leisure atau waktu senggang dilaksanakan bukan dalam pengertian sebagai waktu tidur atau waktu yang hampa. Leisure bukanlah kerja, sehingga ia memiliki beberapa sifat-sifat sebagai non-work yaitu  non-competitive dan non-utilitarian. Selain itu, seharusnya leisure itu sendiri self rewarding dan intrinsically pleasurable. Stevens mengatakan "leisure is really a state of mind, a habit of the soul".

Beberapa contoh penggunaan waktu senggang yang relatif "aktif" adalah olah raga, bermain (games), hobby, membaca, tamasya,  kesenian, dll. Beberapa contoh leisure yang dilaksanakan relatif secara "pasif" adalah seperti memancing, menikmati musik, menyaksikan film atau opera, menikmati keindahan alam, dll

Beberapa istilah yang sering dijumpai dalam diskusi tentang leisure dapat dilihat pada appendix A.

Tujuan leisure. Menurut Ryken, tujuan leisure paling tidak adalah:

 a. istirahat dari kerja dan tanggung-jawab rutin,
 b. relaxation,
 c. entertainment,
 d. celebration,
 e. self-fulfilment, dan
 f. nurturing of family and social bonds.

KATEGORI PELAKSANAAN LEISURE

Dengan mengikuti kategori yang disediakan oleh G.K. Chesterton diatas, kita akan mengutip pembahasan Paul Stevens tentang kategori pelaksanaan leisure.

Freedom to do something. Ini adalah leisure dalam bentuk yang aktif dan result-oriented. Contohnya adalah berbagai permainan olah-raga, rekreasi dan pelaksanaan hobby.  Biasanya leisure jenis ini relatif terencana dan membutuhkan usaha (seperti jogging dan gardening), atau ketrampilan tertentu (misalnya saja berenang, main musik, menjahit, fotografi, memasak).  Dalam beberapa hal, mungkin tidak memiliki kegunaan atau arti penting untuk orang lain yang tidak melakukannya (misalnya hobby mengumpulkan serangga kering). Kegiatan leisure ini sangat potensial bersifat restoratif, dipilih secara sengaja, secara masak-masak dan dilaksanakan secara reguler.

Freedom to do anything. Bisa juga leisure dilaksanakan tanpa dengan rencana yang spesifik, melainkan dengan satu tujuan untuk membebaskan diri dari rutinitas. Misalnya saja para penghuni kota yang berlibur ke daerah pegunungan, pantai atau pedesaan untuk sekedar beristirahat dan menikmati alam. Di tempat-tempat itu, ia bisa bebas memilih mau mengerjakan apa saja yang nanti menarik hatinya.

Freedom to do nothing. Biasanya orang kristen sangat takut melakukan leisure dengan kategori ketiga ini. Sering muncul adanya rasa bersalah jika kita "tidak mengerjakan apa-apa". Walaupun demikian, tidak berbuat apa-apa tidak perlu selalu dianggap sebagai sloth (lihat glossary) jika hal itu dilakukan dengan pemahaman bahwa Tuhan tetap bekerja dan memelihara kita. Walaupun mungkin tidak “produktif” dilihat dari sudut pandang utilitarian, namun tidak berbuat apa-apa, menurut Stevens, bisa memiliki kegunaannya sendiri. Kegunaan ini ada empat tahap, yang makin lama makin mendalam, sebagai berikut:

 a. Sebagai suatu kebebasan dari kegiatan rutin.
 b. Relaxation dan istirahat
 c. Restoratif: memberi kesempatan bagi pemikiran kreatif dan perspektif baru
 d. Kegunaan yang paling dalam adalah transformatif, dimana kita secara terus menerus berbalik menjadi seperti anak-anak dihadapan Allah, menikmati Allah dan ciptaanNya.

PANGGILAN TERHADAP LEISURE

Pernyataan Alkitabiah umum tentang leisure adalah bahwa leisure sama pentingnya dengan kerja. Alkitab menunjukkan kepada kita untuk memiliki keduanya, dan tidak menganggap yang satu lebih utama dari yang lain. Stevens mengatakan bahwa landasan Alkitabiah untuk leisure paling tidak ada tiga, yaitu mandat ciptaan, teologi anugerah dan teologi waktu. [578, 579]

Tuhan yang bekerja dan menikmati hasil karyaNya. Tuhan memberi contoh bahwa Dia Kita memiliki Tuhan yang adalah pribadi pekerja, dan kita sebagai gambarNya juga melihat kerja sebagai sifat hakiki kita.  Namun kita sering lupa dan tidak menyadari bahwa Tuhan "beristirahat dari kerja" (Kejadian 2:3) dan "disegarkan" oleh istirahatnya itu (Keluaran 31:17) dan bahwa Tuhan menikmati ciptaanNya itu (Kejadian 1:31). Dengan kata lain, Tuhan juga tidak menginginkan kita menjadi budak pekerjaan kita dan Ia menciptakan istirahat untuk memberi irama dalam hidup kita.

Tuhan mencukupkan semua kebutuhan kita. Jikalau sekali waktu leisure yang dipilih adalah berupa “doing nothing”, maka itu harus dilaksanakan sebagai hasil pemahaman bahwa Tuhan-lah pemeran utama dalam kelestarian hidup kita dan dunia ini. Karena walaupun kita tidak sedang bekerja, Ia akan memastikan bahwa kebutuhan kita akan Ia penuhi. Perhatikan kata Tuhan Yesus waktu Ia memakai bunga bakung yang walaupun “tidak berusaha apa-apa” namun Allah memberikan pakaian kepadanya yang “lebih indah dari pakaian raja Salomo”

Istirahat sebagai suatu mandat. Tuhan memberi perintah kepada umatNya untuk beristirahat, yang pada jaman Israel dinyatakan dalam bentuk Sabbath. Pengertian ini sangat berhubungan dengan prinsip bahwa Tuhan mencukupkan semua kebutuhan kita dan bahwa Tuhan ingin kita menikmati hidup ini. Dengan demikian, alkitab mengisyaratkan kepada kita untuk membuang waktu secara kudus (wasting time in a holy way).

Tuhan ingin kita menikmati hidup ini. Aspek lain dalam memandang leisure adalah sebagai tanggung-jawab kita memenuhi panggilan Tuhan bagi kita untuk mengikuti teladanNya, sama dengan respon kita terhadap panggilan untuk bekerja. (Ryken, 207)  Jadi sebenarnya panggilan mandat budaya yang utuh memiliki dua dimensi: kerja dan menikmati. Tuhan menciptakan semuanya ini untuk dinikmati (selain di atur, dikembang-kan dan dipelihara). Ia bukanlah pribadi “kill-joy” yang tidak suka melihat kita senang. Ini adalah konsep yang salah tentang siapa Allah kita.

Menikmati ciptaan Tuhan, yaitu hal sehari-hari disekitar kita. Alkitab menga-jarkan kepada kita akan adanya dimensi rohani dari hal-hal sehari-hari dan untuk menikmatinya (Pengkhotbah 3:13 & 5:18).  Bahkan Alkitab juga mengajarkan pada kita untuk menikmati ciptaanNya dalam tubuh jasmani manusia, seperti sexual pleasure (baca Kidung Agung)

Dosa mempengaruhi pelaksanaan leisure. Tetapi pada waktu manusia jatuh dalam dosa, maka leisure juga dipengaruhi oleh kuasa kejatuhan itu. Menikmati leisure seringkali jadi merosot menjadi mengexploatasi alam, merusak karakter diri sendiri ataupun member-halakan leisure. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian Issue-Issue Seputar Leisure.

Leisure tidak meniadakan tanggung-jawab. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa pada waktu kita melaksanakan leisure, kita melakukannya sebagai respon seorang steward kepada Allah yang adalah pemilik baik diri kita dan waktu kita. Kita hidup dan berbuat segala sesuatu dihadirat Allah (Coram Deo), sehingga dengan demikian pelaksanaan leisure tersebut juga harus bertanggung-jawab, tidak bisa dilakukan seenak kita sendiri, tanpa kontrrol dan tanpa dilandasi oleh prinsip-prinsip Firman Tuhan.
 

SIKAP DALAM MELAKUKAN LEISURE

Leisure apakah yang baik bagi saya? pertanyaan ini sama sulit dijawabnya dengan pertanyaan: jenis pekerjaan apakah yang tepat buat saya?  Leisure sangat bervariasi dan Paul Stevens memberikan beberapa perspektif dalam pelaksanaan leisure.

Tetap menyadari identitas kita sebagai image of God,  yaitu bahwa status dan kedudukan kita ada diatas alam semesta. Kita bertugas untuk menafsirkan alam semesta. Sehingga dengan demikian kita:

 a. Tidak larut atau hanyut menjadi satu dengannya.
 b. Harus bisa mengambil jarak dengan object yang dinikmati.
 c. Tidak kehilangan self-control


Menyadari bahwa kita hidup dihadapan Tuhan (Coram Deo):  kita melakukan segala sesuatu dalam hadirat Allah. Sehingga dengan demikian kita harus:

 a. Tetap berpegang pada prinsip firman Tuhan.
 b. Melakukan leisure dengan penuh ucapan syukur.


Menyadari providensia (penyertaan & pemeliharaan) Tuhan.

 a. Menyadari bahwa kita adalah makhluk yang terbatas.
 b. Melakukan leisure dengan relax


Sikap non-utilitarian.  Leisure dilakukan bukan untuk mencari untung. Leisure adalah self-rewarding. Kegiatan leisure seperti memancing, misalnya, tidaklah harus diberi label "non-produktif"? Kita harus “let leisure be a leisure” kata Ryken []

Adanya kesadaran akan pentingnya kwalitas leisure itu sendiri.   Seperti juga pada waktu kita melakukan kerja sebagai suatu panggilan Allah, maka melaksanaan leisure (yang adalah juga panggilan Allah) memiliki dimensi kwalitas dan excellence (walaupun bukan dimotivasi secara utilitarian). Dalam pengertian dan semangat itulah ungkapan ini harus dibaca dan dimengerti: "adalah suatu dosa jika kita makan es-krim kwalitas rendah" Harap pernyataan ini jangan dihubungkan dengan pemborosan yang tidak bertanggung-jawab.

Adanya moderasi dan keseimbangan. Sampai dimana leisure menjadi terlalu sedikit (kurang) atau berlebihan? hal ini memang relatif dan tidak mudah dipatok. Salah satu ukuran yang bisa dipakai adalah melihat apakah pelaksanaan leisure itu sendiri sudah mencapai tujuannya. Dalam segi waktu, Ryken menyarankan bahwa sebaiknya waktu leisure untuk diri sendiri tidak melebihi waktu yang dipakai untuk bersama keluarga, teman dan pelayanan.

Walaupun demikian, kata Stevens, “Not everything must be useful, sensible and balanced. Neither Jesus nor Paul lived a balanced life. Occasional extravagence (Mk 14:6) and taking holy risks (Mt 25:24-27) reflect living for and loving a God of plenty, joy, generosity and exuberance”
 

ISSUE-ISSUE SEPUTAR LEISURE: ETIKA LEISURE

Seperti juga dosa dalam diri kita mempengaruhi pelaksanaan kerja, demikian juga dosa akan mempengaruhi pelaksanaan leisure. Dalam melaksanakan leisure, kita tetap harus ingat bahwa kita adalah God's steward untuk waktu, uang, performance kerja, dll Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa issue dan keprihatinan yang suka muncul pada waktu kita melaksanakan leisure.

Kecanduan leisure.  Rasul Paulus mengatakan agar kita selalu 'dipenuhi Roh" dan bukan anggur. Ada pelaksanaan leisure yang menyebabkan kita lupa akan kerja dan tanggung jawab lainnya. Ada pula memprioritaskan leisure secara luar biasa, sehingga leisure itu menuntut kwalitas dan kesetiaan yang sebenarnya adalah ciri-ciri suatu agama. Misalnya saja hal ini bisa kita jumpai dalam professional sports dan pelbagai bentuk judi dewasa ini. Selain itu kita bisa menemukan banyak para pemuja-pemuja (worshippers) dari pelbagai barang, misalnya saja pemuja mobil, para pemuja musik, para pemuja makan, dll

Leisure dan karakter Kristen. Pelaksanaan leisure tidak menghilangkan tanggung-jawab.  Ada paling tidak lima bidang dimana kita harus bertanggung-jawab dalam melak-sanakan leisure.

Waktu.  Dalam melaksanakan leisure kita melatih diri sebagai seorang penatalayan (steward) atas waktu yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. menjadi steward atas waktu berarti memakainya dengan memperhatikan apa yang yang menjadi interest pemiliknya, yaitu Allah. "To use the time well begins with Concern not simply for the quantity of time we have at our disposal but also the quality of it."

Dunia adalah milik Allah.  Allah tidak hanya minta kita menguasai dunia (Kejadian 1:28), melainkan juga untuk melindungi dan menjaganya dari kerusakan atau kehancuran (Kejadian 2:15)

Keindahan.  Hal ini mencakup baik keindahan alamiah maupun keindahan yang kita temukan dalam kreativitas kerja manusia dalam seni dan budaya.

Tubuh jasmani dan emosi kita.  Jenis pekerjaan rutin kita akan menentukan jenis aktivitas fisik yang terbaik buat kita. Bagi mereka yang secara fisik sangat aktif dalam kerja nya, maka jenis rekreasi yang aktif tidaklah terlalu penting; sebaliknya bagi mereka yang bekerja duduk dibelakang meja sepenjang hari, maka ia membutuhkan latihan fisik untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya.

Pikiran dan imajinasi.

Jenis leisure yang "bermanfaat' dan berlabel Kristen?  Haruskah kita selalu memilih leisure yang "mendidik" dan "bermanfaat" dan yang berlabel Kristen saja?  jawabnya, tidak perlu selalu harus demikian. Walaupun disarankan bahwa passion terhadap Tuhan merupakan cara untuk melawan pelaksanaan leisure yang keliru, namun bukan berarti kita hanya dapat dan boleh menikmati segala bentuk leisure yang berlabel Kristen saja (musik Kristen, film Kristen, taman Kristen, buku Kristen, dll). “Religionizing of leisure” seperti itu, tidaklah perlu, sebab seharusnya kita bisa menemukan Tuhan dalam hal-hal “biasa” sehari-hari (ordinary). Kita harus bisa menemukan dan menikmati, baik pernyataan umum maupun pernyataan khusus dari Tuhan (general revelation & special revelation).

Leisure sebagai appendage kerja.  Kita melakukan leisure hanya agar setelah itu kita bisa "fresh" untuk bekerja lagi. Seringkali pelaksanaan leisure merosot sebagai suatu kerja (utilitarian).  Membaca jadi "homework", olah-raga jadi "working-out". Contoh lain adalah, bahwa dalam bermain games misalnya, sikap kompetitif menjadi sangat mendominasi dan terlalu fokus pada kemenangan.

Leisure sebagai pelayanan bagi diri kita sendiri.  Mencintai diri sendiri tidaklah keliru (perintah yang utama di Markus 12:31) dan Alkitab tidak pernah menyalahkan adanya keinginan untuk mencari kesenangan peribadi dan pemenuhan kebutuhan kita secara umum. Bahkan Yesus pun pada waktu Ia memikul salibNya menekuninya untuk "untuk sukacita yang tersedia bagiNya" (Ibrani 12:2)

Menjaga diri dari pelaksanaan leisure yang keliru.  Richard Baxter mengatakan bahwa antidote untuk itu semua diatas adalah “passion for God, zeal for the people of God, a deep, intelligent and willful hunger to know God”. Jadi jika memang pusat perhatian hidup kita adalah Tuhan, maka dengan sendirinya prinsip dan keinginan kita untuk memuliakan Tuhan hadir dalam pelaksanaan leisure. Paul Stevens mengajukan beberapa ide agar kita dapat “life-playfuly” sebab “Christian life is fun. It’s not always fun, but certainly it’s not boring”, sebagai berikut:

 a. Pilihlah waktu luang dibandingkan extra money
 b. Laksanakan baik leisure maupun sabbath
 c. Pilihlah “edifying leisure” dan bukan “debilitating ‘pleasures’”
 d. Pilihlah leisure yang mengandung nilai-nilai keluarga dan laksanakan hal itu   sebagai pendidikan keluarga
 e. Temukan kegiatan leisure pribadi yang bersifat memperbaiki diri (restoratif)

INTERAKSI ANTARA LEISURE DAN KERJA

Seperti telah disebutkan dalam bagian terdahulu, kerja dan leisure merupakan dua unsur penting dalam hidup seseorang. Keduanya berjalan secara berirama dan saling berinteraksi, saling mendukung satu sama lain. jika demikian, bagaimanakah kita harus melihat interaksi antara keduanya? Ryken paling tidak melihat ada tiga model.

Spillover or identity or extension model of leisure. Disini kerja dilihat sebagai perpanjangan leisure, sebab mereka menemukan kesukaan dalam melaksanakan kerja nya dan mengalami kwalitas leisure dalam kerjanya. Seseorang dengan posisi ini tidak membedakan antara kerja dan leisure.

Compensatory or opposition model. Disini kerja dan leisure dipisahkan atau dikontraskan. Leisure idianggap sebagai kompensasi kerja. Seseorang dengan posisi ini secara serius mencari leisure yang sangat berbeda dengan aktivitas rutin nya, sebab mereka perlu jeda atau istirahat.

Separation or neutrality model. Disini kerja dan leisure dianggap sebagai entitas yang terpisah. Masing-masing dihargai secara terpisah dan belum tentu yang satu dianggap lebih penting dari yang lain. Kerja dan laisure terpisah dalam diri seseorang dengan posisi ini.

Yang manakah dari ketiga model diatas yang akan kita adopsi sebagai model hubungan antara kerja dan leisure untuk kita? Ryken lebih melihat bahwa kita kita memilih model-model diatas sesuai dengan kebutuhan kita, yang mungkin saja bervariasi sesuai dengan kemungkinan adanya dinamika dalam kerja kita.

Oleh sebab itu, dengan cara berpikir seperti diatas, ketiga model tersebut bisa saja bersifat kristiani.  Pemilihan model sangat tergantung dari si-kon tiap-tiap orang. Ryken menyim-pulkan bahwa "we should avoid trying to find the Christian model of the relationship between work and leisure.  There are too many variables to allow for a single right relationship.  That relationship varies according to the person, type of work, and even day of the week."

Kerja dan leisure bagian-bagian yang saling komplementer dari harmony kudus dan  jika kita memahami bahwa keduanya sama penting, hal itu akan menolong kita untuk tidak menjadikan keduanya sebagai berhala, yang jika demikian akan dapat menuntut devosi mutlak kita kepadanya.
 

KESIMPULAN

Leisure merupakan bagian dari hidup kita yang sangat penting.  Walaupun seringkali tidak secara explisit, Alkitab memuat panggilan Allah untuk melaksanakan leisure dan kita sendiri juga sangat merasakan kebutuhannya. Sikap keliru yang sering dibuat oleh gereja-gereja adalah dengan tidak mengambil sikap atau tidak mengajarkannya dengan baik.

Selain itu, adalah suatu sikap yang tidak bertanggung jawab jika kita hanya menerima semua jenis leisure dan entertaiment apa saja yang disodorkan oleh dunia tanpa dibarengi dengan sikap kritis.

Lebih jauh lagi, adalah tugas kita sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki satu sifat penting Tuhan: kreativitas, untuk memikirkan dan mengembangkan jenis-jenis leisure dan permainan yang menarik dan membangun dalam arti seluas-luasnya.
 

REFERENSI DAN BACAAN LANJUT

1. Verkuyl, Johannes (1960) Etika Kristen: KEBUDAYAAN. BPK.
2. Ryken, Leland (1987) Work and Leisure in Christian Perspective. Multnomah
3. Ryken, Leland (1995) Redeeming the Time: A Christian Approach to Work and Leisure. Baker
4. Huizinga, Johan (1955) Homo Ludens: element of play in society. Beacon Pr.
5. Banks, Robert (1993) Redeeming the Routine: Bringing Theology Back to  Life. Bridgepoints
6. Banks, Robert & Stevens, Paul (1998) The Complete Book of Everyday  Christianity. IVP (lihat topik: Leisure, Play, Work)
7. Johnson, Robert (1983). The Christian at Play. Eerdmans.
 
 
 

CATATAN: 
Referensi dan kutipan-kutipan belum dicantumkan (masih amburadul)
 

APPENDIX A

GLOSSARY

Hedonism. (berasal dari kata Yunani hedone  - pleasure)  Adalah suatu gaya hidup yang didasari oleh keyakinan bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup tertinggi.
 

Homo-ludens. Arti kata latin ini adalah "manusia yang bermain-main". Manusia memiliki unsur ini dalam dirinya.
 

Self-Abasement. Adalah suatu tindakan merendahkan diri dengan tujuan yang positif dan tindakan tersebut biasanya dilakukan dalam konteks keagamaan. Contohnya adalah waktu Kristus mencuci kaki murid-muridNya.
 

Sloth. Sloth adalah kemalasan, keengganan bekerja dan maunya bersenang-senang saja ("an averseness to labor, through a carnal love of ease, or indulgence to the flesh"). Sloth dapat dikenali dalam diri seseorang dari ciri-ciri sebagai berikut:

 a. jika kerja dalam pengertian mendalam terasa tidak menyenangkan
 b. jika kemudahan sangat menarik
 c. jika bagian mudah dari pekerjaan kita
 d. jika anda bekerja dengan pikiran yang capai secara terus-menerus
 e. jika anda secara terus-menerus mengemukakan alasan untuk menunda atau
  menolak kerja
 f. jika hambatan sedikit saja sudah membuat anda berhenti bekerja


Utilitarian.  Aiming at usefulness rather than beauty. Seorang utilitarian mengukur segala aktivitas dari "kegunaan" atau "hasil" yang dapat diperoleh melalui kegiatan itu. Kegunaan yang dimaksudkan disini terbatas pada kegunaan secara materi dan bukan kegunaan dalam aspek lain seperti keindahan, kegunaan secara rohani ataupun secara psikologis.
 

Utilitarianism.  A theory that the greatest good for the greatest number should be the main consideration in making a choice of actions.
 
 

 APPENDIX B

A BIBLICAL THEOLOGY OF WORK

1. Bekerja merupakan salah satu sifat dasar manusia sebagai gambar Allah, yang adalah  seorang
pekerja. Manusia dicipta sebagai representatif (wakil) Allah di dunia, atau menjadi manajer/penatalayan Allah (God's steward) yang tugasnya adalah untuk:

 a. Menguasai & menikmati dunia (to rule the earth & creation)
     (Kejadian 1:28, 31)
 b. Mengelola dunia (to cultivate the earth & creation)
     (Kejadian 2: 15)
 c. Memelihara dunia (to preserve the earth & creation)
     (Kejadian 2:15)
2. Kerja dijadikan bukan hanya untuk memenuhi nafkah fisik saja, melainkan memiliki  dimensi yang kaya:
 a. sosial
 b. fisik
 c. mental, intelektual
 d. emosi, estetik
 e. spiritual
3. Kerja bukan hukuman.  Beberapa contoh tentang pandangan yang keliru tentang kerja:
 a. Pandangan Yunani: tujuan hidup adalah kenikmatan dan kerja adalah akibat   kutukan.
     Hal ini bisa dilihat dari konsep surga orang Yunani yang isinya melulu orang yang
     bersenang-senang (hedonist).
 b. Pandangan gereja abad pertengahan: hal-hal rohani (doa, baca Alkitab, puasa,
     persekutuan, dll) lebih penting daripada kerja "sekuler/duniawi"
4. Akibat kejatuhan Manusia terhadap kerja.
 a. Bumi dikutuk (Kejadian 3: 17-19). Manusia harus bersusah payah dan mengalami kesulitan
     dalam bekerja. Walaupun demikian kerja tidak ditiadakan.
 b. Motivasi manusia tentang kerja seringkali menjadi salah. Akibat dosa, manusia   kemudian
     menjadi tiran yang meng-exploit dunia dan ciptaan lainnya.
 c. Jika demikian, manusia menjadi "Bad Steward" atau "Fallen Steward"; dimana
     ia tidak lagi menjadi manajer, tapi seolah-olah jadi pemilik dunia.
5. Akibat penebusan Kristus terhadap kerja.
 a. Penebusan dan pembenaran dalam Kristus mencakup kerja juga. Manusia   dimampukan
     kembali ke peran semula sebagai God's Faithful and God's   Steward
 b. Hal ini dimungkinkan sebab manusia yang telah ditebus, hidupnya diperbaharui,
     mengalami pertumbuhan (transformasi) yang "makin lama makin menyerupai Kristus",
     dimana sifat dan orientasi hidupnya dikembalikan ke arah harmoni dengan kehendak Allah.
 c. Dengan demikian, kerja menjadi suatu dimensi pelayanan, tempat menerapkan
    dan melaksanakan prinsip dan perintah Tuhan. Kerja dan profesi menjadi
    sarana dan arena bagi kehadiran Kerajaan Allah.
6. Pelayanan di dunia kerja mencakup semua dimensi, bukan hanya dimensi spiritual saja.
a. Pelayanan di dunia kerja berarti mengalihkan fokus dari diri sendiri kepada orang
    lain. Kegunaan kerja bukan lagi hanya dilihat dari pemenuhan kebutuhan pribadi secara
    egoistik saja, melainkan untuk orang lain juga.
 b. Penerapan prinsip kekristenan dalam kerja dan profesi tidak hanya dalam dimensi
    PI (spiritual) saja, melainkan dalam semua dimensi yang ada di lingkungan kerja.
 c. Sifat-sifat Kerajaan Allah yang adalah kasih, keadilan dan shalom harus dipraktekkan
     secara seluas-luasnya dalam kerja dan profesi kita. Kita harus menggunakan keahlian
     dan resource lainnya yang kita miliki untuk membangun kesejahteraan sosial dan keadilan.
7. Harus di antisipasi bahwa pelayanan dan penerapan prinsip kekristenan dalam hal  apapun, termasuk di dunia kerja, membutuhkan pengorbanan pribadi dan akan  menghadirkan penderitaan.

8. Setelah bekerja, Allah beristirahat. Kenyataan ini menghadirkan suatu teladan dan  panggilan bagi manusia untuk menikmati ciptaan dan hasil kerja.
 

APPENDIX C

BEBERAPA SARAN UNTUK PENGEMBANGAN TOPIK INI

Karena level pembahasan paper ini merupakan level introduksi saja, pastilah masih ada banyak issues dan pertanyaan yang muncul. Selain itu, masih ada banyak yang bisa dikembangkan dari paper ini.  Beberapa contoh topik yang bisa disarankan untuk dikembangkan dalam bentuk studi dan paper adalah:
 

1. Mengembangkan sikap kritis menilai karya seni
2. Menciptakan permainan-permainan yang restoratif dan edifying untuk ICF
3. On Festivals and Celebrations
4. On Recreation
5. On Hobby

BEBERAPA PERTANYAAN UNTUK DISKUSI

1. Apakah sabbath = leisure?

2. Apakah tidur = leisure? apa arti sloth? apakah idleness = leisure?

3. Bagaimana memutuskan berapa banyak uang dan waktu yang akan dipakai untuk  leisure? apakah leisure sebaiknya direncanakan untuk dilaksanakan secara “lump”  (satu hari dalam seminggu, dua minggu dalam setahun); atau bisakah dilakukan  secara lebih tersebar (dua jam dalam sehari)?

4. Diskusikan ungkapan bahwa “Time is Money”.
 Ada teologi, nilai dan etika apa saja yang terkandung didalam ungkapan ini?

5. Kapan suatu leisure menjadi suatu pemborosan?
 Kapan leisure menjadi sesuatu yang merugikan?

6. Jika leisure adalah keharusan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang relatif miskin,  yang harus bekerja tujuh hari seminggu?

7. Studi kasus 1 (dari Leonardo di Ruslio):
 Nonton film horror atau action yang melibatkan banyak ketegangan atau kekerasan.  Kita dibuat "tegang" oleh action dan thrill yang ada dalam film tersebut.  Pertanyaannya:  Salahkah menikmati film horror atau action seperti itu; atau,  salahkah menikmati ketegangan dan kekerasan?