|
LEISURE IN THE EYES OF THE
BEHOLDER
A Christian View on Leisure Fenny Wibowo & Yohannes Somawiharja
PENGANTAR Kelihatannya tidak ada yang tidak setuju bahwa kerja itu merupakan sesuatu yang baik dan perlu. Manusia adalah ciptaan Allah, yang adalah pribadi pekerja. Sehingga dengan demikian, sebagai gambarNya, kita mewarisi sifat sebagai pekerja. Dengan pekerjaan, kita bukan hanya memenuhi kebutuhan fisik kita (makanan, tempat tinggal, dll) melainkan juga memenuhi kebutuhan mental dan spiritual (kepuasan batin terhadap hasil karya). Tetapi bagaimana dengan leisure, yang sering kita sebut dengan waktu luang? berbagai pendapat bisa kita dapatkan: ada yang berpendapat bahwa leisure merupakan kemalasan dan pemborosan, dan kalaupun leisure itu diperlukan, gunanya adalah untuk sekedar memulihkan kesegaran untuk melanjutkan kerja. Kebanyakan orang yang workoholic menganut pandangan seperti ini. Dipihak lain, dalam konteks seperti di Amerika ini banyak tersedia berbagai amusement center, dari yang sederhana sampai yang wah seperti di Disneyland atau Las Vegas. Ada orang-orang yang menjajakan beribu atau bahkan berjuta dollar untuk berlibur atau membeli barang-barang yang kita tahu bukan hanya dibutuhkan fungsi dasarnya saja melainkan juga untuk dinikmati dimensi-dimensi lainnya. Apakah kalau begitu jenis atau pelaksanaan leisure seperti ini merupakan pemborosan dan kekurang-sensitivan terhadap penderitaan orang lain? Atau mari kita lihat sendiri bagaimana kita memanfaatkan waktu luang kita disela-sela waktu perkuliahan yang padat dengan nonton TV dan pelbagai video games lainnya. Benarkah bermain video games itu “membuang waktu sia-sia”? perlukah kita mencari leisure yang "edukatif"? apakah memancing itu "tidak produktif"? dan apakah mengambil bagian dalam suatu pemainan itu "kekanak-kanakan"? Bagaimana seharusnya sikap kita terhadap leisure? leisure apa saja yang tepat buat kita? Leland Ryken mengakui bahwa kekristenan sangat kurang membahas topik yang penting ini (kapan anda terakhir dengar khotbah soal leisure?) Tetapi sebagaimana juga tidak ada tuntunan yang kaku untuk melaksanakan kerja, Tuhan juga tidak menggariskan satu ketentuan yang kaku buat pelaksanaan leisure. Ini bagus, sebab pelaksanaan waktu senggang itu biasanya sangat erat hubungannya dengan pekerjaan kita, yang juga merefleksikan keunikan kita. Jadi tulisan ini tidak berpretensi untuk memberi model umum yang bisa diterapkan buat semua orang -karena itu tidak mungkin-, melainkan ingin mengajak kita semua untuk bersama-sama memikirkan dengan serius pemakaian waktu senggang yang bagi seorang Kristen adalah merupakan bagian dari mandat budaya dari Allah dan sangat penting peranannya dalam hidup kita. ARTI KATA LEISURE Diskusi selalu dimulai dengan mendefinisikan istilah-istilah yang dipakai. Mendifinisikan apa itu leisure, lebih sulit dari mendefinisikan kerja, seperti diakui oleh Leland Ryken. Pada dasarnya, leisure adalah "non-work". Ada unsur "freedom" yang dominan disini. Paul Stevens mengatakan bahwa secara umum, leisure dimaksudkan sebagai "dibebaskan dari", umumnya dibebaskan dari tuntutan harus bekerja, walaupun demikian ia berpendapat, pengartian “dibebaskan untuk” lebih lengkap. G.K. Chesterton mengatakan bahwa kebebasan disini beragam, yaitu: freedom to do something, freedom to do anything, and freedom to do nothing. [Stevens, 576] Akar kata leisure adalah kata Perancis kuno leisir yang berasal Latin licere, yang berarti " to be allowed or to be lawful." Kata itu merupakan akar kata yang sama untuk membentuk kata license. Dalam pengertian ini leisure berarti kebebasan untuk melakukan apa saja yang kita mau secara relatif tanpa rasa keterpaksaan [24] Akar kata leisure yang lain adalah kata Yunani skole atau kata Latin schola, dari mana kata school (sekolah) berasal. Konteks pemakaian kata ini asalnya adalah dimana seseorang dibebaskan dari keharusan bekerja (yang dilakukan oleh budak), sehingga memiliki waktu luang yang bisa digunakan untuk hal-hal yang disukai/disenangi, untuk membangun diri pribadi. Dalam bahasa Indonesia, leisure sering disebut waktu senggang atau waktu luang. Leisure atau waktu senggang dilaksanakan bukan dalam pengertian sebagai waktu tidur atau waktu yang hampa. Leisure bukanlah kerja, sehingga ia memiliki beberapa sifat-sifat sebagai non-work yaitu non-competitive dan non-utilitarian. Selain itu, seharusnya leisure itu sendiri self rewarding dan intrinsically pleasurable. Stevens mengatakan "leisure is really a state of mind, a habit of the soul". Beberapa contoh penggunaan waktu senggang yang relatif "aktif" adalah olah raga, bermain (games), hobby, membaca, tamasya, kesenian, dll. Beberapa contoh leisure yang dilaksanakan relatif secara "pasif" adalah seperti memancing, menikmati musik, menyaksikan film atau opera, menikmati keindahan alam, dll Beberapa istilah yang sering dijumpai dalam diskusi tentang leisure dapat dilihat pada appendix A. Tujuan leisure. Menurut Ryken, tujuan leisure paling tidak adalah: a. istirahat dari kerja dan tanggung-jawab rutin, KATEGORI PELAKSANAAN LEISURE Dengan mengikuti kategori yang disediakan oleh G.K. Chesterton diatas, kita akan mengutip pembahasan Paul Stevens tentang kategori pelaksanaan leisure. Freedom to do something. Ini adalah leisure dalam bentuk yang aktif dan result-oriented. Contohnya adalah berbagai permainan olah-raga, rekreasi dan pelaksanaan hobby. Biasanya leisure jenis ini relatif terencana dan membutuhkan usaha (seperti jogging dan gardening), atau ketrampilan tertentu (misalnya saja berenang, main musik, menjahit, fotografi, memasak). Dalam beberapa hal, mungkin tidak memiliki kegunaan atau arti penting untuk orang lain yang tidak melakukannya (misalnya hobby mengumpulkan serangga kering). Kegiatan leisure ini sangat potensial bersifat restoratif, dipilih secara sengaja, secara masak-masak dan dilaksanakan secara reguler. Freedom to do anything. Bisa juga leisure dilaksanakan tanpa dengan rencana yang spesifik, melainkan dengan satu tujuan untuk membebaskan diri dari rutinitas. Misalnya saja para penghuni kota yang berlibur ke daerah pegunungan, pantai atau pedesaan untuk sekedar beristirahat dan menikmati alam. Di tempat-tempat itu, ia bisa bebas memilih mau mengerjakan apa saja yang nanti menarik hatinya. Freedom to do nothing. Biasanya orang kristen sangat takut melakukan leisure dengan kategori ketiga ini. Sering muncul adanya rasa bersalah jika kita "tidak mengerjakan apa-apa". Walaupun demikian, tidak berbuat apa-apa tidak perlu selalu dianggap sebagai sloth (lihat glossary) jika hal itu dilakukan dengan pemahaman bahwa Tuhan tetap bekerja dan memelihara kita. Walaupun mungkin tidak “produktif” dilihat dari sudut pandang utilitarian, namun tidak berbuat apa-apa, menurut Stevens, bisa memiliki kegunaannya sendiri. Kegunaan ini ada empat tahap, yang makin lama makin mendalam, sebagai berikut: a. Sebagai suatu kebebasan dari kegiatan rutin. PANGGILAN TERHADAP LEISURE Pernyataan Alkitabiah umum tentang leisure adalah bahwa leisure sama pentingnya dengan kerja. Alkitab menunjukkan kepada kita untuk memiliki keduanya, dan tidak menganggap yang satu lebih utama dari yang lain. Stevens mengatakan bahwa landasan Alkitabiah untuk leisure paling tidak ada tiga, yaitu mandat ciptaan, teologi anugerah dan teologi waktu. [578, 579] Tuhan yang bekerja dan menikmati hasil karyaNya. Tuhan memberi contoh bahwa Dia Kita memiliki Tuhan yang adalah pribadi pekerja, dan kita sebagai gambarNya juga melihat kerja sebagai sifat hakiki kita. Namun kita sering lupa dan tidak menyadari bahwa Tuhan "beristirahat dari kerja" (Kejadian 2:3) dan "disegarkan" oleh istirahatnya itu (Keluaran 31:17) dan bahwa Tuhan menikmati ciptaanNya itu (Kejadian 1:31). Dengan kata lain, Tuhan juga tidak menginginkan kita menjadi budak pekerjaan kita dan Ia menciptakan istirahat untuk memberi irama dalam hidup kita. Tuhan mencukupkan semua kebutuhan kita. Jikalau sekali waktu leisure yang dipilih adalah berupa “doing nothing”, maka itu harus dilaksanakan sebagai hasil pemahaman bahwa Tuhan-lah pemeran utama dalam kelestarian hidup kita dan dunia ini. Karena walaupun kita tidak sedang bekerja, Ia akan memastikan bahwa kebutuhan kita akan Ia penuhi. Perhatikan kata Tuhan Yesus waktu Ia memakai bunga bakung yang walaupun “tidak berusaha apa-apa” namun Allah memberikan pakaian kepadanya yang “lebih indah dari pakaian raja Salomo” Istirahat sebagai suatu mandat. Tuhan memberi perintah kepada umatNya untuk beristirahat, yang pada jaman Israel dinyatakan dalam bentuk Sabbath. Pengertian ini sangat berhubungan dengan prinsip bahwa Tuhan mencukupkan semua kebutuhan kita dan bahwa Tuhan ingin kita menikmati hidup ini. Dengan demikian, alkitab mengisyaratkan kepada kita untuk membuang waktu secara kudus (wasting time in a holy way). Tuhan ingin kita menikmati hidup ini. Aspek lain dalam memandang leisure adalah sebagai tanggung-jawab kita memenuhi panggilan Tuhan bagi kita untuk mengikuti teladanNya, sama dengan respon kita terhadap panggilan untuk bekerja. (Ryken, 207) Jadi sebenarnya panggilan mandat budaya yang utuh memiliki dua dimensi: kerja dan menikmati. Tuhan menciptakan semuanya ini untuk dinikmati (selain di atur, dikembang-kan dan dipelihara). Ia bukanlah pribadi “kill-joy” yang tidak suka melihat kita senang. Ini adalah konsep yang salah tentang siapa Allah kita. Menikmati ciptaan Tuhan, yaitu hal sehari-hari disekitar kita. Alkitab menga-jarkan kepada kita akan adanya dimensi rohani dari hal-hal sehari-hari dan untuk menikmatinya (Pengkhotbah 3:13 & 5:18). Bahkan Alkitab juga mengajarkan pada kita untuk menikmati ciptaanNya dalam tubuh jasmani manusia, seperti sexual pleasure (baca Kidung Agung) Dosa mempengaruhi pelaksanaan leisure. Tetapi pada waktu manusia jatuh dalam dosa, maka leisure juga dipengaruhi oleh kuasa kejatuhan itu. Menikmati leisure seringkali jadi merosot menjadi mengexploatasi alam, merusak karakter diri sendiri ataupun member-halakan leisure. Hal ini akan dibahas lebih lanjut dalam bagian Issue-Issue Seputar Leisure. Leisure tidak meniadakan
tanggung-jawab. Satu hal yang harus disadari adalah bahwa pada waktu kita
melaksanakan leisure, kita melakukannya sebagai respon seorang steward kepada
Allah yang adalah pemilik baik diri kita dan waktu kita. Kita hidup dan berbuat
segala sesuatu dihadirat Allah (Coram Deo), sehingga dengan demikian pelaksanaan
leisure tersebut juga harus bertanggung-jawab, tidak bisa dilakukan seenak kita
sendiri, tanpa kontrrol dan tanpa dilandasi oleh prinsip-prinsip Firman Tuhan. SIKAP DALAM MELAKUKAN LEISURE Leisure apakah yang baik bagi saya? pertanyaan ini sama sulit dijawabnya dengan pertanyaan: jenis pekerjaan apakah yang tepat buat saya? Leisure sangat bervariasi dan Paul Stevens memberikan beberapa perspektif dalam pelaksanaan leisure. Tetap menyadari identitas kita sebagai image of God, yaitu bahwa status dan kedudukan kita ada diatas alam semesta. Kita bertugas untuk menafsirkan alam semesta. Sehingga dengan demikian kita: a. Tidak larut atau hanyut menjadi satu dengannya.
a. Tetap berpegang pada prinsip firman Tuhan.
a. Menyadari bahwa kita adalah makhluk yang terbatas.
Adanya kesadaran akan pentingnya kwalitas leisure itu sendiri. Seperti juga pada waktu kita melakukan kerja sebagai suatu panggilan Allah, maka melaksanaan leisure (yang adalah juga panggilan Allah) memiliki dimensi kwalitas dan excellence (walaupun bukan dimotivasi secara utilitarian). Dalam pengertian dan semangat itulah ungkapan ini harus dibaca dan dimengerti: "adalah suatu dosa jika kita makan es-krim kwalitas rendah" Harap pernyataan ini jangan dihubungkan dengan pemborosan yang tidak bertanggung-jawab. Adanya moderasi dan keseimbangan. Sampai dimana leisure menjadi terlalu sedikit (kurang) atau berlebihan? hal ini memang relatif dan tidak mudah dipatok. Salah satu ukuran yang bisa dipakai adalah melihat apakah pelaksanaan leisure itu sendiri sudah mencapai tujuannya. Dalam segi waktu, Ryken menyarankan bahwa sebaiknya waktu leisure untuk diri sendiri tidak melebihi waktu yang dipakai untuk bersama keluarga, teman dan pelayanan. Walaupun demikian, kata
Stevens, “Not everything must be useful, sensible and balanced. Neither Jesus
nor Paul lived a balanced life. Occasional extravagence (Mk 14:6) and taking
holy risks (Mt 25:24-27) reflect living for and loving a God of plenty, joy,
generosity and exuberance” ISSUE-ISSUE SEPUTAR LEISURE: ETIKA LEISURE Seperti juga dosa dalam diri kita mempengaruhi pelaksanaan kerja, demikian juga dosa akan mempengaruhi pelaksanaan leisure. Dalam melaksanakan leisure, kita tetap harus ingat bahwa kita adalah God's steward untuk waktu, uang, performance kerja, dll Dalam bagian ini akan dikemukakan beberapa issue dan keprihatinan yang suka muncul pada waktu kita melaksanakan leisure. Kecanduan leisure. Rasul Paulus mengatakan agar kita selalu 'dipenuhi Roh" dan bukan anggur. Ada pelaksanaan leisure yang menyebabkan kita lupa akan kerja dan tanggung jawab lainnya. Ada pula memprioritaskan leisure secara luar biasa, sehingga leisure itu menuntut kwalitas dan kesetiaan yang sebenarnya adalah ciri-ciri suatu agama. Misalnya saja hal ini bisa kita jumpai dalam professional sports dan pelbagai bentuk judi dewasa ini. Selain itu kita bisa menemukan banyak para pemuja-pemuja (worshippers) dari pelbagai barang, misalnya saja pemuja mobil, para pemuja musik, para pemuja makan, dll Leisure dan karakter Kristen. Pelaksanaan leisure tidak menghilangkan tanggung-jawab. Ada paling tidak lima bidang dimana kita harus bertanggung-jawab dalam melak-sanakan leisure. Waktu. Dalam melaksanakan leisure kita melatih diri sebagai seorang penatalayan (steward) atas waktu yang dipercayakan oleh Tuhan kepada kita. menjadi steward atas waktu berarti memakainya dengan memperhatikan apa yang yang menjadi interest pemiliknya, yaitu Allah. "To use the time well begins with Concern not simply for the quantity of time we have at our disposal but also the quality of it." Dunia adalah milik Allah. Allah tidak hanya minta kita menguasai dunia (Kejadian 1:28), melainkan juga untuk melindungi dan menjaganya dari kerusakan atau kehancuran (Kejadian 2:15) Keindahan. Hal ini mencakup baik keindahan alamiah maupun keindahan yang kita temukan dalam kreativitas kerja manusia dalam seni dan budaya. Tubuh jasmani dan emosi kita. Jenis pekerjaan rutin kita akan menentukan jenis aktivitas fisik yang terbaik buat kita. Bagi mereka yang secara fisik sangat aktif dalam kerja nya, maka jenis rekreasi yang aktif tidaklah terlalu penting; sebaliknya bagi mereka yang bekerja duduk dibelakang meja sepenjang hari, maka ia membutuhkan latihan fisik untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuhnya. Pikiran dan imajinasi. Jenis leisure yang "bermanfaat' dan berlabel Kristen? Haruskah kita selalu memilih leisure yang "mendidik" dan "bermanfaat" dan yang berlabel Kristen saja? jawabnya, tidak perlu selalu harus demikian. Walaupun disarankan bahwa passion terhadap Tuhan merupakan cara untuk melawan pelaksanaan leisure yang keliru, namun bukan berarti kita hanya dapat dan boleh menikmati segala bentuk leisure yang berlabel Kristen saja (musik Kristen, film Kristen, taman Kristen, buku Kristen, dll). “Religionizing of leisure” seperti itu, tidaklah perlu, sebab seharusnya kita bisa menemukan Tuhan dalam hal-hal “biasa” sehari-hari (ordinary). Kita harus bisa menemukan dan menikmati, baik pernyataan umum maupun pernyataan khusus dari Tuhan (general revelation & special revelation). Leisure sebagai appendage kerja. Kita melakukan leisure hanya agar setelah itu kita bisa "fresh" untuk bekerja lagi. Seringkali pelaksanaan leisure merosot sebagai suatu kerja (utilitarian). Membaca jadi "homework", olah-raga jadi "working-out". Contoh lain adalah, bahwa dalam bermain games misalnya, sikap kompetitif menjadi sangat mendominasi dan terlalu fokus pada kemenangan. Leisure sebagai pelayanan bagi diri kita sendiri. Mencintai diri sendiri tidaklah keliru (perintah yang utama di Markus 12:31) dan Alkitab tidak pernah menyalahkan adanya keinginan untuk mencari kesenangan peribadi dan pemenuhan kebutuhan kita secara umum. Bahkan Yesus pun pada waktu Ia memikul salibNya menekuninya untuk "untuk sukacita yang tersedia bagiNya" (Ibrani 12:2) Menjaga diri dari pelaksanaan leisure yang keliru. Richard Baxter mengatakan bahwa antidote untuk itu semua diatas adalah “passion for God, zeal for the people of God, a deep, intelligent and willful hunger to know God”. Jadi jika memang pusat perhatian hidup kita adalah Tuhan, maka dengan sendirinya prinsip dan keinginan kita untuk memuliakan Tuhan hadir dalam pelaksanaan leisure. Paul Stevens mengajukan beberapa ide agar kita dapat “life-playfuly” sebab “Christian life is fun. It’s not always fun, but certainly it’s not boring”, sebagai berikut: a. Pilihlah waktu luang dibandingkan extra money INTERAKSI ANTARA LEISURE DAN KERJA Seperti telah disebutkan dalam bagian terdahulu, kerja dan leisure merupakan dua unsur penting dalam hidup seseorang. Keduanya berjalan secara berirama dan saling berinteraksi, saling mendukung satu sama lain. jika demikian, bagaimanakah kita harus melihat interaksi antara keduanya? Ryken paling tidak melihat ada tiga model. Spillover or identity or extension model of leisure. Disini kerja dilihat sebagai perpanjangan leisure, sebab mereka menemukan kesukaan dalam melaksanakan kerja nya dan mengalami kwalitas leisure dalam kerjanya. Seseorang dengan posisi ini tidak membedakan antara kerja dan leisure. Compensatory or opposition model. Disini kerja dan leisure dipisahkan atau dikontraskan. Leisure idianggap sebagai kompensasi kerja. Seseorang dengan posisi ini secara serius mencari leisure yang sangat berbeda dengan aktivitas rutin nya, sebab mereka perlu jeda atau istirahat. Separation or neutrality model. Disini kerja dan leisure dianggap sebagai entitas yang terpisah. Masing-masing dihargai secara terpisah dan belum tentu yang satu dianggap lebih penting dari yang lain. Kerja dan laisure terpisah dalam diri seseorang dengan posisi ini. Yang manakah dari ketiga model diatas yang akan kita adopsi sebagai model hubungan antara kerja dan leisure untuk kita? Ryken lebih melihat bahwa kita kita memilih model-model diatas sesuai dengan kebutuhan kita, yang mungkin saja bervariasi sesuai dengan kemungkinan adanya dinamika dalam kerja kita. Oleh sebab itu, dengan cara berpikir seperti diatas, ketiga model tersebut bisa saja bersifat kristiani. Pemilihan model sangat tergantung dari si-kon tiap-tiap orang. Ryken menyim-pulkan bahwa "we should avoid trying to find the Christian model of the relationship between work and leisure. There are too many variables to allow for a single right relationship. That relationship varies according to the person, type of work, and even day of the week." Kerja dan leisure
bagian-bagian yang saling komplementer dari harmony kudus dan jika kita
memahami bahwa keduanya sama penting, hal itu akan menolong kita untuk tidak
menjadikan keduanya sebagai berhala, yang jika demikian akan dapat menuntut
devosi mutlak kita kepadanya. KESIMPULAN Leisure merupakan bagian dari hidup kita yang sangat penting. Walaupun seringkali tidak secara explisit, Alkitab memuat panggilan Allah untuk melaksanakan leisure dan kita sendiri juga sangat merasakan kebutuhannya. Sikap keliru yang sering dibuat oleh gereja-gereja adalah dengan tidak mengambil sikap atau tidak mengajarkannya dengan baik. Selain itu, adalah suatu sikap yang tidak bertanggung jawab jika kita hanya menerima semua jenis leisure dan entertaiment apa saja yang disodorkan oleh dunia tanpa dibarengi dengan sikap kritis. Lebih jauh lagi, adalah
tugas kita sebagai ciptaan Tuhan yang memiliki satu sifat penting Tuhan:
kreativitas, untuk memikirkan dan mengembangkan jenis-jenis leisure dan
permainan yang menarik dan membangun dalam arti seluas-luasnya. REFERENSI DAN BACAAN LANJUT 1. Verkuyl, Johannes (1960) Etika
Kristen: KEBUDAYAAN. BPK. CATATAN: APPENDIX A GLOSSARY Hedonism. (berasal
dari kata Yunani hedone - pleasure) Adalah suatu gaya hidup
yang didasari oleh keyakinan bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup tertinggi. Homo-ludens. Arti
kata latin ini adalah "manusia yang bermain-main". Manusia memiliki
unsur ini dalam dirinya. Self-Abasement.
Adalah suatu tindakan merendahkan diri dengan tujuan yang positif dan tindakan
tersebut biasanya dilakukan dalam konteks keagamaan. Contohnya adalah waktu
Kristus mencuci kaki murid-muridNya. Sloth. Sloth adalah kemalasan, keengganan bekerja dan maunya bersenang-senang saja ("an averseness to labor, through a carnal love of ease, or indulgence to the flesh"). Sloth dapat dikenali dalam diri seseorang dari ciri-ciri sebagai berikut: a. jika kerja dalam pengertian mendalam terasa tidak menyenangkan
Utilitarianism.
A theory that the greatest good for the greatest number should be the main
consideration in making a choice of actions. APPENDIX B A BIBLICAL THEOLOGY OF WORK 1. Bekerja merupakan salah
satu sifat dasar manusia sebagai gambar Allah, yang adalah seorang a. Menguasai & menikmati dunia (to rule the earth & creation)2. Kerja dijadikan bukan hanya untuk memenuhi nafkah fisik saja, melainkan memiliki dimensi yang kaya: a. sosial3. Kerja bukan hukuman. Beberapa contoh tentang pandangan yang keliru tentang kerja: a. Pandangan Yunani: tujuan hidup adalah kenikmatan dan kerja adalah akibat kutukan.4. Akibat kejatuhan Manusia terhadap kerja. a. Bumi dikutuk (Kejadian 3: 17-19). Manusia harus bersusah payah dan mengalami kesulitan5. Akibat penebusan Kristus terhadap kerja. a. Penebusan dan pembenaran dalam Kristus mencakup kerja juga. Manusia dimampukan6. Pelayanan di dunia kerja mencakup semua dimensi, bukan hanya dimensi spiritual saja. a. Pelayanan di dunia kerja berarti mengalihkan fokus dari diri sendiri kepada orang7. Harus di antisipasi bahwa pelayanan dan penerapan prinsip kekristenan dalam hal apapun, termasuk di dunia kerja, membutuhkan pengorbanan pribadi dan akan menghadirkan penderitaan. 8. Setelah bekerja, Allah
beristirahat. Kenyataan ini menghadirkan suatu teladan dan panggilan bagi
manusia untuk menikmati ciptaan dan hasil kerja. APPENDIX C BEBERAPA SARAN UNTUK PENGEMBANGAN TOPIK INI Karena level pembahasan
paper ini merupakan level introduksi saja, pastilah masih ada banyak issues dan
pertanyaan yang muncul. Selain itu, masih ada banyak yang bisa dikembangkan dari
paper ini. Beberapa contoh topik yang bisa disarankan untuk dikembangkan
dalam bentuk studi dan paper adalah: 1. Mengembangkan sikap kritis menilai karya seni BEBERAPA PERTANYAAN UNTUK DISKUSI 1. Apakah sabbath = leisure? 2. Apakah tidur = leisure? apa arti sloth? apakah idleness = leisure? 3. Bagaimana memutuskan berapa banyak uang dan waktu yang akan dipakai untuk leisure? apakah leisure sebaiknya direncanakan untuk dilaksanakan secara “lump” (satu hari dalam seminggu, dua minggu dalam setahun); atau bisakah dilakukan secara lebih tersebar (dua jam dalam sehari)? 4. Diskusikan ungkapan bahwa
“Time is Money”. 5. Kapan suatu leisure
menjadi suatu pemborosan? 6. Jika leisure adalah keharusan, lalu bagaimana dengan orang-orang yang relatif miskin, yang harus bekerja tujuh hari seminggu? 7. Studi kasus 1 (dari
Leonardo di Ruslio): |